Selasa, 06 Desember 2011

Negeri "Percaloan"



M Budi Santosa

SURVEI Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan Kota Depok dan Pemprov Lampung sebagai kota dan provinsi dengan kualitas pelayanan masyarakatnya paling jelek. Bahkan dua daeran ini bisa dikategorikan sebagai "daerah terkorup" di antara daerah lain yang menjadi sampel survei KPK ini. Banyak hal yang tentunya menjadi indikator bagi KPK untuk menilai suatu daerah itu "korup" atau tidak. Tentu saja salah satunya adalah marak tidaknya pungli yang sering muncul pada saat warga mengurus suatu surat menyurat atau perizinan yang melibatkan birokrasi daerah. Namun demikian birokrat bertingkah seperti itu bukan tanpa alasan. Bisa jadi karena perilaku dari masyarakat juga mendukungnya. Contoh paling mudah adalah, banyak masyarakat yang enggan untuk berusah payah untuk mengurus perizinan atau surat menyurat. Mereka lebih memilih untuk membayar jasa pihak tertentu untuk mempermudah segala urusan. Inilah asal muasal dari pungli dan praktek percaloan. Tidak heran jika kita sering menemukan praktek percaloan ini di berbagai tempat. Kira-kira dalam bahasa ekonomi ada supply dan demand. Ada permintaan dan penawaran. Praktek ini akan sulit sekali diberantas jika masyarakat juga tidak memiliki keinginan kuat untuk memberantasnya. Tanpa adanya permintaan, maka sudah pasti penawaran tidak akan ada. Bahasa betawinya: ente jual, ane beli. Praktek percaloan dan pungli bukan hanya sekadar milik Depok dan Lampung. Praktek ini secara kasat mata terjadi hampir di setiap level birokrasi dengan kadar yang berbeda-beda. Karenanya harus ada dua sisi yang perlu dilakukan perbaikan, dari sisi aparaturnya maupun dari sisi masyarakatnya. Pada 8-9 Desember besok, sejumlah akademisi dan praktisi akan menggelar deklarasi "BBM = Birokrasi yang Bersih dan Melayani". Tentunya deklarasi dan gerakan yang akan dilakukan di Kampus Universitas Indonesia (UI) ini pantas didengungkan dan terus didorong ke seluruh level birokrasi. Karena memang selama ini birokrasi yang semestinya melayani justru berbalik arah menjadi "ingin dilayani". Berbagai upaya sistematis dan kontinyu perlu diwujudkan. Survei KPK perlu dilanjutkan. Namun survei itu harus membumi, dalam arti harus ada tindaklanjut dari kementerian atau lembaga terkait. Misalnya saja jika terkait dengan aparatur pemerintah daerah, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan juga Menteri Dalam Negeri harus turun tangan untuk melakukan bersih-bersih atas perilaku buruk aparatnya. Tanpa ada tindakan shock teraphy, maka sudah pasti survei hanya akan menjadi data mati yang tidak ada gunanya. Data itu mungkin akan masuk ke laci dan akan coba terus disembunyikan. Selain itu, perlu ada sosialisasi dan juga menumbuhkembangkan budaya di masyarakat, bahawa jangan lagi menggunakan jasa calo. Dan, jika dalam suatu saat menerima perlakuan berupa pungli, harus segera dilaporkan ke pihak yang berwenang melakukan penindakan. Dengan cara seperti itu, kita akan bisa memulai membangun negeri yang bebas dari "percaloan."

0 komentar:

Posting Komentar

print this page

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Bluehost Coupons